HotelInfantesAgres - Tempat Tanya Jawab Pelajaran & Ilmu Pengetahuan Logo

In B. Indonesia / Sekolah Menengah Atas | 2025-08-13

tema cerpen "digitalisasi pendidikan" berkawan dengan teknologi di dunia pendidikan, cerpen minimal 10 halaman​

Asked by alfiaanita58

Answer (1)

Judul: Piksel Harapan di Ujung JariTema: Digitalisasi Pendidikan (Berkawan dengan Teknologi di Dunia Pendidikan)Halaman 1Suara Pak Budi Santoso menggema di ruang kelas X-IPA 1, melintasi deretan kepala yang sebagian besar tertunduk lesu. Di tangannya, sebuah spidol yang nyaris habis tintanya menari-nari di atas papan tulis putih, menggoreskan silsilah raja-raja Mataram Kuno. Usianya sudah 57 tahun, hanya tiga tahun lagi menuju masa purnabakti, dan baginya, mengajar Sejarah adalah sebuah seni—seni bercerita yang diwariskan dari gurunya, dan guru dari gurunya."Perhatikan!" suaranya meninggi, mencoba menarik atensi dari barisan belakang. "Jangan sampai akar sejarah bangsa ini kalian tukar dengan scroll tak berarti di gawai kalian!"Matanya yang tajam, meski terbingkai kacamata tebal, menangkap sosok Rian di pojok ruangan. Anak itu lagi-lagi tertunduk, bukan untuk mencatat, melainkan menatap layar tabletnya yang menyala samar-samar. Pak Budi menghela napas. Inilah musuh terbesarnya selama lima tahun terakhir. Bukan kurikulum yang terus berganti, bukan pula honor yang tak seberapa, melainkan kotak-kotak bercahaya di genggaman murid-muridnya. Benda-benda itu telah mencuri jiwa dan rasa ingin tahu mereka, mengubahnya menjadi zombie-zombie digital yang hanya merespons notifikasi.Baginya, pendidikan adalah soal sentuhan manusia. Soal tatapan mata yang berbinar saat seorang murid akhirnya paham, soal debu kapur di jemari yang menjadi saksi bisu transfer ilmu, soal diskusi hangat yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan kritis. Teknologi, di matanya, adalah antitesis dari semua itu. Dingin, dangkal, dan penuh distraksi.Hari itu, seusai jam pelajaran, kepala sekolah mengumpulkan semua guru di ruang rapat. Wajahnya semringah saat mengumumkan program baru dari dinas pendidikan: "Program Akselerasi Digital Sekolah.""Bapak dan Ibu," ujar Pak Tirtayasa, sang kepala sekolah. "Mulai semester depan, sekolah kita akan menjadi salah satu pelopor digitalisasi pendidikan. Kita akan mendapatkan bantuan tablet untuk siswa, smartboard untuk setiap kelas, dan seorang konsultan ahli untuk membantu kita bertransisi."Ruangan riuh oleh bisik-bisik. Sebagian besar guru muda tampak antusias. Namun, Pak Budi hanya terdiam. Di benaknya, kata "akselerasi" terdengar seperti lonceng kematian bagi metode mengajarnya, dan kata "konsultan" terdengar seperti penghinaan bagi pengabdiannya selama tiga dekade.Halaman 2Konsultan yang dimaksud ternyata adalah seorang wanita muda bernama Anisa. Usianya mungkin belum genap tiga puluh, dengan kacamata berbingkai tipis dan senyum yang seolah tak pernah pudar. Ia memperkenalkan diri sebagai "fasilitator transformasi digital", sebuah jabatan yang terdengar sangat asing dan muluk di telinga Pak Budi.Minggu pertama, Bu Anisa mengadakan lokakarya untuk para guru. Ia menunjukkan berbagai aplikasi pembelajaran: platform kuis interaktif, aplikasi pembuat podcast sejarah, situs web untuk membuat lini masa digital. Para guru muda mencobanya dengan antusias, tertawa saat berhasil membuat avatar mereka sendiri atau saat kuis yang mereka buat berhasil berjalan.Pak Budi hanya duduk di belakang, menyilangkan tangan di dada."Maaf, Bu Anisa," potongnya saat Bu Anisa sedang menjelaskan cara membuat infografis tentang jalur rempah. "Apakah semua ini tidak akan membuat sejarah menjadi sekadar permainan? Sejarah itu butuh perenungan, butuh imajinasi yang lahir dari cerita, bukan dari gambar-gambar bergerak yang dangkal."Bu Anisa tersenyum sabar. "Tentu tidak, Bapak. Ini bukan untuk menggantikan perenungan, tapi untuk menjadi gerbangnya. Bagi generasi sekarang, gerbang itu harus visual dan interaktif. Setelah mereka masuk, barulah kedalaman cerita Bapak yang akan menahan mereka di dalam."Pak Budi mendengus pelan. "Gerbang," gumamnya. "Atau justru tembok yang menghalangi mereka dari esensi yang sebenarnya."Dialog itu menjadi penanda dimulainya perang dingin antara sang veteran dan sang inovator. Pak Budi semakin kukuh pada metodenya, seolah ingin membuktikan bahwa cara lama adalah emas murni yang tak lekang oleh waktu. Ia bahkan semakin sering menyita gawai siswa di kelasnya, menumpuknya di atas meja sebagai monumen kemenangannya atas distraksi digital.Rian, tentu saja, menjadi korban paling sering. Tabletnya hampir setiap hari berakhir di tumpukan itu. "Di luar saja, Rian, kalau kamu lebih tertarik pada duniamu itu," usir Pak Budi pada suatu hari, saat Rian kepergok sedang menonton video tutorial desain di tengah penjelasannya tentang Perang Diponegoro.Rian keluar tanpa membantah, tapi tatapan matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Pak Budi merasa menang, tetapi ada secuil perasaan aneh yang mengganjal di hatinya. Ia merasa tidak sedang mendidik, melainkan sedang menghukum.full cerita ada di dokumen

Answered by tegaru89 | 2025-08-13